Tuesday, April 20, 2021

Konsep dan Prinsip Integrasi Ilmu (IDI BAB 5)

A. Makna Integrasi Ilmu

    Kata Integrasi berasal dari Bahasa Inggris. Sebagaimana dijelaskan M. Amin Abdullah bahwa pengembangan IAIN menjadi UIN adalah merupakan contoh wujud praktik integrasi ilmu pengetahuan itu. Beliau menegaskan bahwa pemahaman integrasi dalam konsep ini adalah dimana fakultas-fakultas agama tetap dipertahankan, namun kurikulumnya perlu dikembangkan agar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa IAIN di era globalisasi, dan tenaga pengajar dan dosen-dosennya juga harus diperkuat dengan berbagai metode dan pendekatan baru, namun secara bersamaan bahwa pada fakultas-fakultas umum yang ada di universitas-universitas juga perlu dibekali muatan-muatan spiritualitas dan moral keagamaan yang lebih kritis dan terarah dalam format integrated curriculum dan bukannya separated curriculum seperti yang ada selama ini. 

    Sedangkan Kuntowijoyo menjelaskan bahwa dalam konteks paradigma pengilmuan Islam, integrasi ilmu itu dimaksudkan sebagai upaya penyatuan ilmu. Ia menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu integralistik (hasil integrasi) itu adalah ilmu yang menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia, sehingga menjadi suatu prinsip keilmuan yang tidak akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) dan juga tidak mengucilkan manusia. Secara Harfiah, terdapat tiga jenis kata yang merujuk pada kata integrasi :

1. Sebagai kata kerja

Mengintegrasikan, Menyatupadukan, Menggabungkan, Mempersatukan

2.  Sebagai kata benda

Integrasi, Pengintegrasian, atau penggabungkan

3. Sebagai kata sifat

Integral yang berarti hitungan integral, bulat, utuh, yang perlu untuk melengkapi

Demikian halnya, integrasi ilmu pengetahuan menjadi jejaring yang menjadi satu ikatan yang saling mengisi dan melengkapi baik perspektif, terapan, maupun nilai etik/Akhlak. Masing-masing disiplin ilmu tersebut menjadi terintegrasi, lebih komprehensif, objektif holistic, serta sarat dengan nilai (Value) dan kemanfaatan (Ziyadah Al-Khair) yang menunjang objerktivitas ilmu dan kualitas hidup manusia.

B. Prinsip atau Nilai Dasar Integrasi Ilmu

Paradigma integrasi ilmu dirinci sebagai berikut :

1. Paradigma ilmu integratif (Menjadi bagian dari keseluruhan)

2. Paradigma integrasi ilmu integralistik

3. Paradigma ilmu dialogis, yakni bersifat terbuka untuk sharing atau mengapresiasi keberadaan disiplin ilmu lainnya (Integrasi ilmu dialogue)

C. Prinsip Utama : Tauhid

Prinsip Pendukung

- Inklusivitas (Menempatkan diri ke dalam cara pandang orang lain)

- Dialogis

- Relevansi

- Objectvikasi

- Kebenaran

- Keadilan

- Istilah

- Holistik (Keterkaitan antar ilmu)

- Kelangsungan dan kesinambungan

D. Tantangan Integrasi Ilmu

1. Dalil Geologis dan Astronomis menghancurkan posisi paragraf ayat al-Kitab tentang penciptaan Tuhan

2. Munculnya paham barat seperti sekularisme. Pada abad pertengahan di Eropa setiap pertemuan baru berarti tambahan senjata bagi penyerangan terhadap agama dan keberadaan Tuhan.

3. Darwinisme berkembang seiring dengan pesta pora kaum ilmuan sekuler, karena sejak saat itu mereka dapat menjelaskan tentang penciptaan manusia tanpa perlu menghadirkan "Ayat-Ayat Suci" dan Tuhan

E. Dasar Teologis Pentingnya Integrasi Ilmu

Artinya :
"Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakinkan kebahwasannya Al-Qur'an itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduh hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus (QS. Al-Haj [22]:54)

F. Paradigma Integrasi Ilmu

1. Paradigma Islamisasi

    Islamisasi merupakan gerakan intelektual internasional pertama sekali dimunculkan oleh Ismail Raji Al-Faruqi dari lembaga pemikiran Islam internasional di Amerika Serikat menjelang 1980-an, meskipun gagasan ke rah itu sebelumnya sudah dicetuskan oleh Naquib Al-Attas dari Malaysia.

2. Paradigma Integrasi-interkoneksi

    Paradigma integrasi-interkoneksi ini mengandaikan terbukanya dialog di antara ilmu-ilmu, dengan cara mempertemukan tiga peradaban (trikotomik) di dalamnya, yaitu antarahadarah al-nas (normativitas), hadarah al-’ilm danhadarah al-falsafah (historitas), yang kemudian diistilahkan dengan pendekatan triadik.

Jurnal yang berhubungan dengan materi : 

http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/eduriligia/article/view/1751/1399 

Saturday, April 17, 2021

MISI PROFETIK ILMU DAN TANGGUNG JAWAB ILMUWAN (IDI BAB 4)

 1. Pengertian Misi Profetik Ilmu dan Tanggung Jawab Ilmuwan

    Kata  “profetik” berasal  dari bahasa  inggris  prophetical yang mempunyai makna kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan.

    Sebuah hadits Nabi SAW yang mengatakan ‘ulama adalah pewaris nabi. Ulama adalah istilah dalam bentuk jama’, dalam bentuk tunggal disebut ‘alim yang berarti orang yang berilmu, baik itu ilmu agama dan ilmu umum lainnya sepanjang orang itu menjiwai ilmunya dengan pesan- pesan langit dan pesan manusia paripurna Muhammad SAW.  Warisan nabi adalah risalahnya yang harus diperjuangkan secara estafet sepanjang masa, dari dari generasi kegenerasi.

    Kuntowijoyo dalam Sya'roni (2014), mengatakan bahwa cita-cita etik dan profetik inilah yang seharusnya diderivasikan dari nilai-nilai yang mengakar pada budaya, ajaran agama dan nilai-nilai moral bangsa sehingga pencapaian cita – cita pendidikan tidak mengorbankan jati diri bangsa. Artinya sistem pendidikan harus memberikan pemahaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi tugas pendidikan untuk melakukan reorientasi konsep-konsep normatif agar dapat dipahami secara empiris.

    Landasan pendidikan tersebut sekiranya diorientasikan untuk memfasilitasi terbentuknya kesadaran ilmiah dalam memformulasikan konsep-konsep normatif menjadi konsep-konsep teoritis. Prinsip dalam pendidikan profetik yaitu mengutamakan integrasi. Dalam memberikan suatu materi bidang tertentu juga dikaitkan dengan landasan yang ada di Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga tujuan baik duniawi maupun akhir at dapat tercapai.

2. Etika Profesi Seorang Ilmuwan

    Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. 

    Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni sebagai berikut :

    1.      Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi-teknologi kelimuan.

    2.    Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi penyalahgunaan.

  3.  Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.

    Berdasarkan ketiga hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. 

    Etika keilmuwan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan perilaku ilmuahnya. 

3. Profesionalisme dan Tanggung Jawab Ilmuwan

    Tanggungjawab profesional keilmuan mengandaikan bahwa seorang ilmuwan harus menjadi ahli dan terampil dalam bidangnya, jadi bukan sekedar hobi. Tanggung jawab professional keilmuan mengacu pada bidang keilmuan yang digeluti sebagai panggilan tugas pokok atau profesi keilmuannya. Tanggung jawab professional menunjuk pula pada penghasilan atau upah yang diperoleh berdasarkan tingkat kepakaran (pengetahaun dan ketrampilan) yang dimiliki dalam bidang keilmuannya.

    Profesional merupakan kata atau istilah yang umumnya diliputi sebuah citra diri yang berbauh sukses, penuh percaya diri, berkompeten, bekerja keras, efisien, dan produktif. Tanggung jawab profesional keilmuan menunjuk pula pada sikap keilmuan yang "tanpa pamrih" serta bersikap tenang, tekun, dan mantap, dapat menguasai situasi, serta berkepala dingin dalam memperjuangkan dan mempertahankan kebenaran ilmunya terhadap berbagai gugatan atau sanggahan. Profesionalisme dalam keilmuan mensugestikan pula bahwa seorang ilmuan adalah sosok yang bersifat pragmatis dan tidak membiarkan profesinnya untuk dipengaruhi oleh pandangan -pandangan yang sempit dan sesat.

    Beberapa bentuk tanggung jawab ilmuwan, antara lain :

a. Tanggung jawab sosial

    Tanggung jawab sosial ilmuwan adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial.

b. Tanggung jawab moral

    Tanggung jawab moral tidak dapat dilepaskan dari karakter internal dari ilmuwan itu sendiri sebagi seorang manusia, ilmuwan hendaknya memiliki moral yang baik sehingga pilihannya ketika memilih pengembangan dan pemilihan alternatif, mengimplementasikan keputusan serta pengawasan dan evaluasi dilakukan atas kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan sesaat. para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan tentu perlu memiliki visi moral khusus sebagai ilmuwan.

c. Tanggung jawab etika

    Kemudian tanggung jawab yang berkaitan dengan etika meliputi etika kerja seorang ilmuwan yang berkaitan dengan nilai-nilai dan norma-norma moral (pedoman, aturan, standar atau ukuran, baik yang tertulis maupun tidak tertulis) yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; kumpulan asas atau nilai moral (Kode Etik) dan ilmu tentang perihal yang baik dan yang buruk.

    Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan melulu pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan oleh al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.

Monday, April 5, 2021

Metodologi Ilmu (IDI bab 3)

 1. Pengertian Metodologi Ilmu

    Metodologi adalah ilmu-ilmu atau cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang dikaji. Peran inteletual Islam dalam perkembangan ilmu dan filsafat adalah jembatan penghubung antara tradisi Yunani Kuno dengan ilmu pengetahuan modern saat ini. Akan tetapi, nampaknya  sains modern sudah menjadi “agama” baru yang relatif menafikan sisi-sisi normalitas, karena sifatnya yang materiaslitik.

2. Problem dan Krisis Sains Modern

    Dampak tak terlihat sains modern ini, muncul diantaranya pada pola pikir manusia, dan pada gilirannya tentu saja pada perilakunya. Ini tampak pada dominasi rasionalisme dan empirisme pilar utama metode keilmuan (scientific method), dalam penilaian manusia atas realitasrealitas, baik realitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan. Herman Kahn disebut sebagai budaya inderawi (yaitu yang bersifat empiris, duniawi, sekular, humanistik, pragmatis, utilitarian dan hedonistik) (Ziauddin Sardar, 1988).

    Dampak dari sains modern yaitu dampak psikologis, misalnya termasuk meningkat-pesatnya statistik penderita depresi, kegelisahan, psikosis, dan sebagainya. teknologi sebagai penerapan sains untuk kepentingan manusia punya dampak yang cukup menakutkan. Keempat dampak itu adalah dampak militer, dampak ekologis, dampak sosiologis dan dampak psikologis. Dampak pertama adalah potensi destruktif yang ditemukan sains ternyata serta merta dimanfaatkan langsung sebagai senjata pemusnah massal oleh kekuatan-kekuatan militer dunia. Sejarah tak dapat memungkiri bahwa ilmuwan berperan cukup besar dalam pengembangan senjata-senjata pemusnah massal tersebut. Dampak kedua adalah dampak tak langsung yang berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup manusia oleh industri sebagai penerapan teknologi untuk kepentingan ekonomi. Dampak ketiga adalah keretakan sosial, keterbelahan personal dan keterasingan mental yang dibawa oleh pola hidup urbanisasi yang mengikuti industrialisasi ekonomi. Dampak keempat, yang paling parah, adalah penyalahgunaan obat-obatan hasil industri kimia untuk menanggulangi dampak negatif dari urbanisasi.

3. The Islamic Worldview Sebagai Metodologi Ilmu

    Islamic worldview adalah bagaimana Islam memandang realita. Realita ini tidak terbatas pada dunia melainkan mencakup semua yang ada baik itu bisa diindera maupun tidak (ghaib). Memiliki Islamic worldview maknanya adalah ‘hidup dengan pandangan terhadap realita sebagaimana diajarkan oleh Islam. Seorang Muslim tidaklah akan mengatakan bahwa kalau Islam berpandangan begini, kalau Atheist berpandangan begitu, itu adalah pandangan masing-masing.  Allah itu ada, Firman-Nya itu ada, maut itu ada, alam kubur itu ada, hari kiamat itu ada, pengadilan Allah itu ada, Surga dan Neraka itu ada. Maka pertanyaannya: apakah kita mau menerimanya (berserah diri terhadapnya, atau ber-Islam) atau mau mengingkarinya (kafir).